We wish you a marry Christmas
We wish you a marry Christmas
we wish you a marry Christmas
we wish you a marry Christmas
and a happy new year. (2 v.)
Good tidings to you
wherever you are
good tidings for Christmas
and happy new year.
Now bring us some wiggle pudding
now bring us some wiggle pudding
now bring us some wiggle pudding
and bring some right here.
We won't go until we get some
we won't go until we get some
we won't go until we get some
so bring some right here.
We wish...
Good tidings to you
wherever you are
good tidings for Christmas
and happy new year.
Now bring us some tea and crumpets
now bring us some tea and crumpets
now bring us some tea and crumpets
and bring some right here.
We won't go until we get some
we won't go until we get some
we won't go until we get some
so bring some right here.
We wish..
We all know that Santa's coming,
we all know that Santa's coming,
we all know that Santa's coming,
and soon will be here.
Friday, 19 December 2008
Wednesday, 17 December 2008
Komodo Conservation Camp
Komodo Conservation Camp is one of the facilities existing in the beautiful island where the biggest dragon of Komodo living in east Indonesia National Park. The camps are well equipped by luxury building for the conservation purpose and other part of presentations. It is located just in front of the beautiful white sandy beach or just beside of the national park reception. There are also many beautiful souvenirs presented in this area where you can buy for taking home. In this page is presented the beautiful camp and it is one of the best selection photo from the Komodo National Park.
Komodo National Park Camp
Komodo National Park Camp, Flores Island, Indonesia
Friday, 12 December 2008
Dewandaru Lebih Atraktif Dibanding Buah Sayuran
JAKARTA - Dewandaru disebut juga belimbing mempunyai khasiat mencegah kerusakan oksidatif, akibat radikal bebas yang tidak dapat diatasi oleh antioksidan endogen dalam tubuh.
Dewandaru Lebih Atraktif Dibanding Buah Sayuran
Dewandaru Lebih Atraktif Dibanding Buah Sayuran
Article Tags
antioksidan bebas elektron endogen konsumsi oksidatif orbital radikal senyawa
Polusi yang dikeluarkan kendaraan bermotor dan industri, dan konsumsi cepat saji dapat mendorong terjadinya radikal bebas di dalam tubuh.
Radikal bebas adalah atom atau senyawa elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya, sehingga sifatnya tidak stabil dan cenderung dekstruktif.
Tidak ada pasangan elektro ini yang menyebabkan elektron bebas ini sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, karbohidrat, atau DNA.
Penyebab penyakit jantung koroner, kerusakan lensa mata, dan proses penuaan yang terlalu cepat karena terjadi kerusakan sel atau jaringan hidup.
Di dalam tubuh manusia, kerusakan akibat radikal bebas sebenarnya dapat diatasi oleh antioksidan endogen, tetapi jika radikal bebas berlebihan maka dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar untuk menetralkan radikal yang terbentuk.
Cara mencegahnya dengan menghindari poluis, tidak merokok, kurangi konsumsi lemak jenuh, olahraga dengan tepat, dan hindari konsumsi makanan berpengawet dan pewarna.
Juga dengan mengkonsumsi vitamin A,C dan E dapat menangkal radikal bebas seperti sayur dan buah.
Dari Dewandaru ini karena mempunyai antioksidan yang lebih atraktif dibanding dengan buah atau sayuran lainnya.
Tanamannya memiliki kandungan polifenol maupun komponen flavonoid yang cukup tinggi.
Dewandaru Lebih Atraktif Dibanding Buah Sayuran
Dewandaru Lebih Atraktif Dibanding Buah Sayuran
Article Tags
antioksidan bebas elektron endogen konsumsi oksidatif orbital radikal senyawa
Polusi yang dikeluarkan kendaraan bermotor dan industri, dan konsumsi cepat saji dapat mendorong terjadinya radikal bebas di dalam tubuh.
Radikal bebas adalah atom atau senyawa elektron yang tidak berpasangan pada orbital terluarnya, sehingga sifatnya tidak stabil dan cenderung dekstruktif.
Tidak ada pasangan elektro ini yang menyebabkan elektron bebas ini sangat reaktif dan mampu bereaksi dengan protein, lipid, karbohidrat, atau DNA.
Penyebab penyakit jantung koroner, kerusakan lensa mata, dan proses penuaan yang terlalu cepat karena terjadi kerusakan sel atau jaringan hidup.
Di dalam tubuh manusia, kerusakan akibat radikal bebas sebenarnya dapat diatasi oleh antioksidan endogen, tetapi jika radikal bebas berlebihan maka dibutuhkan antioksidan tambahan dari luar untuk menetralkan radikal yang terbentuk.
Cara mencegahnya dengan menghindari poluis, tidak merokok, kurangi konsumsi lemak jenuh, olahraga dengan tepat, dan hindari konsumsi makanan berpengawet dan pewarna.
Juga dengan mengkonsumsi vitamin A,C dan E dapat menangkal radikal bebas seperti sayur dan buah.
Dari Dewandaru ini karena mempunyai antioksidan yang lebih atraktif dibanding dengan buah atau sayuran lainnya.
Tanamannya memiliki kandungan polifenol maupun komponen flavonoid yang cukup tinggi.
Sixth International Bird Flu Summit Bali
Top leaders and key decision-makers of major companies representing a broad range of industries will meet with noted scientists, public health officials, law enforcers, and other experts to discuss pandemic prevention, preparedness, responses and recovery of bird flu at the summit, said the agency.
The summit's participants will be able to draw on first-hand best practices to create the solid business continuity plans that their companies and organizations need in order to prepare for, respond to, and survive a pandemic, the agency quoted the organizing committee, the U.S.-based New Fields Exhibitions, Inc. as saying.
More information:
http://www.new-fields.com/birdflu6/
The summit's participants will be able to draw on first-hand best practices to create the solid business continuity plans that their companies and organizations need in order to prepare for, respond to, and survive a pandemic, the agency quoted the organizing committee, the U.S.-based New Fields Exhibitions, Inc. as saying.
More information:
http://www.new-fields.com/birdflu6/
Wednesday, 10 December 2008
Peranan Guru Spiritual Hindu Di Bali
Guru spiritual mendapat tempat tersendiri dalam tradisi Jawa. Para
guru ini umumnya mereka sudah berusia lanjut, hingga layak mendapat sebutan “orang tua”. Karena itu ilmu yang diajarkan biasanya juga disebut “ilmu tua”, yang artinya ilmu spiritual, yang hanya bisa diberikan kepada mereka yang “cukup umur”. Tentang batasan umur bagi siswa ini ada bermacam-macam, sementara guru bahkan ada yang hanya mau menerima siswa yang sudah pernah “mantu” atau mengawinkan anaknya. Kalau belum masih dianggap terlalu muda dan belum layak mendapat ilmu. Sebenarnya hal yang sama juga berlaku di Bali. Ilmu hanya boleh diajarkan oleh sang “guru”, sedang siswa tidak. Karena itu awalnya jarang ada ilmu “kejawen” bersifat terbuka bisa dipelajari oleh siapa saja. Penerimaan siswa amat selektif. Bila itu terjadi di Jawa tentunya bisa dimaklumi, mungkin karena lingkungannya mengharuskan demikian. tetapi kalau hal yang sama terjadi di Bali, tentunya akan menjadi pertanyaan.
Sikap siswa terhadap guru, umumnya hanya sebatas rasa hormat, dengan menganggapnya sebagai orang suci. Penghargaan yang bersifat materi (Reshi Yadnya) tidak seberapa dan bahkan tidak ada. Guru umumnya benar-benar sepi pamrih. Umumnya orang berpendapat semakin tanpa pamrih nama guru tersebut akan menjadi semakin terkenal dan dihormati. Situasi lingkungan rupanya telah menyebabkan para guru “kebatinan” tersebut, banyak yang tidak mau menunjukkan identitas agamanya secara jelas. Berbagai aturan yang dibuat mengindikasikan bahwa para guru tersebut jauh dari rasa bebas dalam menyampaikan ajarannya. Misalnya mengajarnya di tempat sepi, yang jauh dari keramaian, siswa harus merahasiakan nama gurunya, dilarang membicarakan hal-hal yang diajarkan kecuali dengan sesama siswa, dll. Karena aturan yang begitu ketat, maka para siswa umumnya pun sangat tertutup, bahkan pantang menyebut nama sang guru. Yang terakhir ini juga terjadi di Bali. Hubungan antar sesama siswa sangat akrab. Mereka disumpah untuk menjadi “saudara seperguruan”, yang diistilahkan “sedulur tunggal banyu”, yang artinya “saudara seair”. Mungkin penamaan itu diberikan karena pengangkatannya sebagai saudara seperguruan dilaksanakan dengan upacara “pemercikan air”. Ajaran yang disampaikan oleh para guru itu sebenarnya ajaran biasa, misalnya tentang “sangkan paraning dumadi”, “manunggaling kawula gusti” dan sejenisnya, yang tak jauh berbeda dengan dasar-dasar ajaran Hindu, Ajaran etika menempati tempat yang pokok, berupa berbagai anjuran dan larangan yang bersifat khusus. Anjuran dan larangan itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan tanpa harus mengetahui apa alasannya. Hal inilah yang membuat moral dan perilaku para penganut kejawen umumnya selalu terjaga. Biasanya kegiatan belajar ditutup dengan pelajaran “samadhi”, dalam sebuah upacara khusus, yang terkesan sakral dan amat tertutup. Hal ini dilaksanakan setelah siswa mendapat “wejangan” mantra-mantra khusus, yang hanya diberikan setelah melaksanakan “laku” (brata) tertentu. Laku (brata) ini ada bermacam-macam, antara lain: puasa, mutih, tidak tidur (jagra), berpantang seks dan lain-lainnya. Sifat tertutup ini membuat mereka sering mendapat sebutan dukun “klenik”, yang dicurigai dan divonis sebagai pengajar ilmu sesat. Tudingan bahwa mereka adalah kaum sinkretis, yang suka meramu ajaran berbagai agama mungkin ada benarnya, sebab mereka umumnya mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran Hindu dan melaksanakan berbagai upacara yang bernafas Hindu tetapi tak jarang doa-doanya dalam bahasa Arab dan Jawa.
Guru spiritual mendapat tempat tersendiri dalam tradisi Jawa. Para
guru ini umumnya mereka sudah berusia lanjut, hingga layak mendapat sebutan “orang tua”. Karena itu ilmu yang diajarkan biasanya juga disebut “ilmu tua”, yang artinya ilmu spiritual, yang hanya bisa diberikan kepada mereka yang “cukup umur”. Tentang batasan umur bagi siswa ini ada bermacam-macam, sementara guru bahkan ada yang hanya mau menerima siswa yang sudah pernah “mantu” atau mengawinkan anaknya. Kalau belum masih dianggap terlalu muda dan belum layak mendapat ilmu. Sebenarnya hal yang sama juga berlaku di Bali. Ilmu hanya boleh diajarkan oleh sang “guru”, sedang siswa tidak. Karena itu awalnya jarang ada ilmu “kejawen” bersifat terbuka bisa dipelajari oleh siapa saja. Penerimaan siswa amat selektif. Bila itu terjadi di Jawa tentunya bisa dimaklumi, mungkin karena lingkungannya mengharuskan demikian. tetapi kalau hal yang sama terjadi di Bali, tentunya akan menjadi pertanyaan.
Sikap siswa terhadap guru, umumnya hanya sebatas rasa hormat, dengan menganggapnya sebagai orang suci. Penghargaan yang bersifat materi (Reshi Yadnya) tidak seberapa dan bahkan tidak ada. Guru umumnya benar-benar sepi pamrih. Umumnya orang berpendapat semakin tanpa pamrih nama guru tersebut akan menjadi semakin terkenal dan dihormati. Situasi lingkungan rupanya telah menyebabkan para guru “kebatinan” tersebut, banyak yang tidak mau menunjukkan identitas agamanya secara jelas. Berbagai aturan yang dibuat mengindikasikan bahwa para guru tersebut jauh dari rasa bebas dalam menyampaikan ajarannya. Misalnya mengajarnya di tempat sepi, yang jauh dari keramaian, siswa harus merahasiakan nama gurunya, dilarang membicarakan hal-hal yang diajarkan kecuali dengan sesama siswa, dll. Karena aturan yang begitu ketat, maka para siswa umumnya pun sangat tertutup, bahkan pantang menyebut nama sang guru. Yang terakhir ini juga terjadi di Bali. Hubungan antar sesama siswa sangat akrab. Mereka disumpah untuk menjadi “saudara seperguruan”, yang diistilahkan “sedulur tunggal banyu”, yang artinya “saudara seair”. Mungkin penamaan itu diberikan karena pengangkatannya sebagai saudara seperguruan dilaksanakan dengan upacara “pemercikan air”. Ajaran yang disampaikan oleh para guru itu sebenarnya ajaran biasa, misalnya tentang “sangkan paraning dumadi”, “manunggaling kawula gusti” dan sejenisnya, yang tak jauh berbeda dengan dasar-dasar ajaran Hindu, Ajaran etika menempati tempat yang pokok, berupa berbagai anjuran dan larangan yang bersifat khusus. Anjuran dan larangan itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan tanpa harus mengetahui apa alasannya. Hal inilah yang membuat moral dan perilaku para penganut kejawen umumnya selalu terjaga. Biasanya kegiatan belajar ditutup dengan pelajaran “samadhi”, dalam sebuah upacara khusus, yang terkesan sakral dan amat tertutup. Hal ini dilaksanakan setelah siswa mendapat “wejangan” mantra-mantra khusus, yang hanya diberikan setelah melaksanakan “laku” (brata) tertentu. Laku (brata) ini ada bermacam-macam, antara lain: puasa, mutih, tidak tidur (jagra), berpantang seks dan lain-lainnya. Sifat tertutup ini membuat mereka sering mendapat sebutan dukun “klenik”, yang dicurigai dan divonis sebagai pengajar ilmu sesat. Tudingan bahwa mereka adalah kaum sinkretis, yang suka meramu ajaran berbagai agama mungkin ada benarnya, sebab mereka umumnya mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran Hindu dan melaksanakan berbagai upacara yang bernafas Hindu tetapi tak jarang doa-doanya dalam bahasa Arab dan Jawa.
guru ini umumnya mereka sudah berusia lanjut, hingga layak mendapat sebutan “orang tua”. Karena itu ilmu yang diajarkan biasanya juga disebut “ilmu tua”, yang artinya ilmu spiritual, yang hanya bisa diberikan kepada mereka yang “cukup umur”. Tentang batasan umur bagi siswa ini ada bermacam-macam, sementara guru bahkan ada yang hanya mau menerima siswa yang sudah pernah “mantu” atau mengawinkan anaknya. Kalau belum masih dianggap terlalu muda dan belum layak mendapat ilmu. Sebenarnya hal yang sama juga berlaku di Bali. Ilmu hanya boleh diajarkan oleh sang “guru”, sedang siswa tidak. Karena itu awalnya jarang ada ilmu “kejawen” bersifat terbuka bisa dipelajari oleh siapa saja. Penerimaan siswa amat selektif. Bila itu terjadi di Jawa tentunya bisa dimaklumi, mungkin karena lingkungannya mengharuskan demikian. tetapi kalau hal yang sama terjadi di Bali, tentunya akan menjadi pertanyaan.
Sikap siswa terhadap guru, umumnya hanya sebatas rasa hormat, dengan menganggapnya sebagai orang suci. Penghargaan yang bersifat materi (Reshi Yadnya) tidak seberapa dan bahkan tidak ada. Guru umumnya benar-benar sepi pamrih. Umumnya orang berpendapat semakin tanpa pamrih nama guru tersebut akan menjadi semakin terkenal dan dihormati. Situasi lingkungan rupanya telah menyebabkan para guru “kebatinan” tersebut, banyak yang tidak mau menunjukkan identitas agamanya secara jelas. Berbagai aturan yang dibuat mengindikasikan bahwa para guru tersebut jauh dari rasa bebas dalam menyampaikan ajarannya. Misalnya mengajarnya di tempat sepi, yang jauh dari keramaian, siswa harus merahasiakan nama gurunya, dilarang membicarakan hal-hal yang diajarkan kecuali dengan sesama siswa, dll. Karena aturan yang begitu ketat, maka para siswa umumnya pun sangat tertutup, bahkan pantang menyebut nama sang guru. Yang terakhir ini juga terjadi di Bali. Hubungan antar sesama siswa sangat akrab. Mereka disumpah untuk menjadi “saudara seperguruan”, yang diistilahkan “sedulur tunggal banyu”, yang artinya “saudara seair”. Mungkin penamaan itu diberikan karena pengangkatannya sebagai saudara seperguruan dilaksanakan dengan upacara “pemercikan air”. Ajaran yang disampaikan oleh para guru itu sebenarnya ajaran biasa, misalnya tentang “sangkan paraning dumadi”, “manunggaling kawula gusti” dan sejenisnya, yang tak jauh berbeda dengan dasar-dasar ajaran Hindu, Ajaran etika menempati tempat yang pokok, berupa berbagai anjuran dan larangan yang bersifat khusus. Anjuran dan larangan itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan tanpa harus mengetahui apa alasannya. Hal inilah yang membuat moral dan perilaku para penganut kejawen umumnya selalu terjaga. Biasanya kegiatan belajar ditutup dengan pelajaran “samadhi”, dalam sebuah upacara khusus, yang terkesan sakral dan amat tertutup. Hal ini dilaksanakan setelah siswa mendapat “wejangan” mantra-mantra khusus, yang hanya diberikan setelah melaksanakan “laku” (brata) tertentu. Laku (brata) ini ada bermacam-macam, antara lain: puasa, mutih, tidak tidur (jagra), berpantang seks dan lain-lainnya. Sifat tertutup ini membuat mereka sering mendapat sebutan dukun “klenik”, yang dicurigai dan divonis sebagai pengajar ilmu sesat. Tudingan bahwa mereka adalah kaum sinkretis, yang suka meramu ajaran berbagai agama mungkin ada benarnya, sebab mereka umumnya mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran Hindu dan melaksanakan berbagai upacara yang bernafas Hindu tetapi tak jarang doa-doanya dalam bahasa Arab dan Jawa.
Guru spiritual mendapat tempat tersendiri dalam tradisi Jawa. Para
guru ini umumnya mereka sudah berusia lanjut, hingga layak mendapat sebutan “orang tua”. Karena itu ilmu yang diajarkan biasanya juga disebut “ilmu tua”, yang artinya ilmu spiritual, yang hanya bisa diberikan kepada mereka yang “cukup umur”. Tentang batasan umur bagi siswa ini ada bermacam-macam, sementara guru bahkan ada yang hanya mau menerima siswa yang sudah pernah “mantu” atau mengawinkan anaknya. Kalau belum masih dianggap terlalu muda dan belum layak mendapat ilmu. Sebenarnya hal yang sama juga berlaku di Bali. Ilmu hanya boleh diajarkan oleh sang “guru”, sedang siswa tidak. Karena itu awalnya jarang ada ilmu “kejawen” bersifat terbuka bisa dipelajari oleh siapa saja. Penerimaan siswa amat selektif. Bila itu terjadi di Jawa tentunya bisa dimaklumi, mungkin karena lingkungannya mengharuskan demikian. tetapi kalau hal yang sama terjadi di Bali, tentunya akan menjadi pertanyaan.
Sikap siswa terhadap guru, umumnya hanya sebatas rasa hormat, dengan menganggapnya sebagai orang suci. Penghargaan yang bersifat materi (Reshi Yadnya) tidak seberapa dan bahkan tidak ada. Guru umumnya benar-benar sepi pamrih. Umumnya orang berpendapat semakin tanpa pamrih nama guru tersebut akan menjadi semakin terkenal dan dihormati. Situasi lingkungan rupanya telah menyebabkan para guru “kebatinan” tersebut, banyak yang tidak mau menunjukkan identitas agamanya secara jelas. Berbagai aturan yang dibuat mengindikasikan bahwa para guru tersebut jauh dari rasa bebas dalam menyampaikan ajarannya. Misalnya mengajarnya di tempat sepi, yang jauh dari keramaian, siswa harus merahasiakan nama gurunya, dilarang membicarakan hal-hal yang diajarkan kecuali dengan sesama siswa, dll. Karena aturan yang begitu ketat, maka para siswa umumnya pun sangat tertutup, bahkan pantang menyebut nama sang guru. Yang terakhir ini juga terjadi di Bali. Hubungan antar sesama siswa sangat akrab. Mereka disumpah untuk menjadi “saudara seperguruan”, yang diistilahkan “sedulur tunggal banyu”, yang artinya “saudara seair”. Mungkin penamaan itu diberikan karena pengangkatannya sebagai saudara seperguruan dilaksanakan dengan upacara “pemercikan air”. Ajaran yang disampaikan oleh para guru itu sebenarnya ajaran biasa, misalnya tentang “sangkan paraning dumadi”, “manunggaling kawula gusti” dan sejenisnya, yang tak jauh berbeda dengan dasar-dasar ajaran Hindu, Ajaran etika menempati tempat yang pokok, berupa berbagai anjuran dan larangan yang bersifat khusus. Anjuran dan larangan itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan tanpa harus mengetahui apa alasannya. Hal inilah yang membuat moral dan perilaku para penganut kejawen umumnya selalu terjaga. Biasanya kegiatan belajar ditutup dengan pelajaran “samadhi”, dalam sebuah upacara khusus, yang terkesan sakral dan amat tertutup. Hal ini dilaksanakan setelah siswa mendapat “wejangan” mantra-mantra khusus, yang hanya diberikan setelah melaksanakan “laku” (brata) tertentu. Laku (brata) ini ada bermacam-macam, antara lain: puasa, mutih, tidak tidur (jagra), berpantang seks dan lain-lainnya. Sifat tertutup ini membuat mereka sering mendapat sebutan dukun “klenik”, yang dicurigai dan divonis sebagai pengajar ilmu sesat. Tudingan bahwa mereka adalah kaum sinkretis, yang suka meramu ajaran berbagai agama mungkin ada benarnya, sebab mereka umumnya mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran Hindu dan melaksanakan berbagai upacara yang bernafas Hindu tetapi tak jarang doa-doanya dalam bahasa Arab dan Jawa.
Subscribe to:
Posts (Atom)