Guru spiritual mendapat tempat tersendiri dalam tradisi Jawa. Para
guru ini umumnya mereka sudah berusia lanjut, hingga layak mendapat sebutan “orang tua”. Karena itu ilmu yang diajarkan biasanya juga disebut “ilmu tua”, yang artinya ilmu spiritual, yang hanya bisa diberikan kepada mereka yang “cukup umur”. Tentang batasan umur bagi siswa ini ada bermacam-macam, sementara guru bahkan ada yang hanya mau menerima siswa yang sudah pernah “mantu” atau mengawinkan anaknya. Kalau belum masih dianggap terlalu muda dan belum layak mendapat ilmu. Sebenarnya hal yang sama juga berlaku di Bali. Ilmu hanya boleh diajarkan oleh sang “guru”, sedang siswa tidak. Karena itu awalnya jarang ada ilmu “kejawen” bersifat terbuka bisa dipelajari oleh siapa saja. Penerimaan siswa amat selektif. Bila itu terjadi di Jawa tentunya bisa dimaklumi, mungkin karena lingkungannya mengharuskan demikian. tetapi kalau hal yang sama terjadi di Bali, tentunya akan menjadi pertanyaan.
Sikap siswa terhadap guru, umumnya hanya sebatas rasa hormat, dengan menganggapnya sebagai orang suci. Penghargaan yang bersifat materi (Reshi Yadnya) tidak seberapa dan bahkan tidak ada. Guru umumnya benar-benar sepi pamrih. Umumnya orang berpendapat semakin tanpa pamrih nama guru tersebut akan menjadi semakin terkenal dan dihormati. Situasi lingkungan rupanya telah menyebabkan para guru “kebatinan” tersebut, banyak yang tidak mau menunjukkan identitas agamanya secara jelas. Berbagai aturan yang dibuat mengindikasikan bahwa para guru tersebut jauh dari rasa bebas dalam menyampaikan ajarannya. Misalnya mengajarnya di tempat sepi, yang jauh dari keramaian, siswa harus merahasiakan nama gurunya, dilarang membicarakan hal-hal yang diajarkan kecuali dengan sesama siswa, dll. Karena aturan yang begitu ketat, maka para siswa umumnya pun sangat tertutup, bahkan pantang menyebut nama sang guru. Yang terakhir ini juga terjadi di Bali. Hubungan antar sesama siswa sangat akrab. Mereka disumpah untuk menjadi “saudara seperguruan”, yang diistilahkan “sedulur tunggal banyu”, yang artinya “saudara seair”. Mungkin penamaan itu diberikan karena pengangkatannya sebagai saudara seperguruan dilaksanakan dengan upacara “pemercikan air”. Ajaran yang disampaikan oleh para guru itu sebenarnya ajaran biasa, misalnya tentang “sangkan paraning dumadi”, “manunggaling kawula gusti” dan sejenisnya, yang tak jauh berbeda dengan dasar-dasar ajaran Hindu, Ajaran etika menempati tempat yang pokok, berupa berbagai anjuran dan larangan yang bersifat khusus. Anjuran dan larangan itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan tanpa harus mengetahui apa alasannya. Hal inilah yang membuat moral dan perilaku para penganut kejawen umumnya selalu terjaga. Biasanya kegiatan belajar ditutup dengan pelajaran “samadhi”, dalam sebuah upacara khusus, yang terkesan sakral dan amat tertutup. Hal ini dilaksanakan setelah siswa mendapat “wejangan” mantra-mantra khusus, yang hanya diberikan setelah melaksanakan “laku” (brata) tertentu. Laku (brata) ini ada bermacam-macam, antara lain: puasa, mutih, tidak tidur (jagra), berpantang seks dan lain-lainnya. Sifat tertutup ini membuat mereka sering mendapat sebutan dukun “klenik”, yang dicurigai dan divonis sebagai pengajar ilmu sesat. Tudingan bahwa mereka adalah kaum sinkretis, yang suka meramu ajaran berbagai agama mungkin ada benarnya, sebab mereka umumnya mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran Hindu dan melaksanakan berbagai upacara yang bernafas Hindu tetapi tak jarang doa-doanya dalam bahasa Arab dan Jawa.
Guru spiritual mendapat tempat tersendiri dalam tradisi Jawa. Para
guru ini umumnya mereka sudah berusia lanjut, hingga layak mendapat sebutan “orang tua”. Karena itu ilmu yang diajarkan biasanya juga disebut “ilmu tua”, yang artinya ilmu spiritual, yang hanya bisa diberikan kepada mereka yang “cukup umur”. Tentang batasan umur bagi siswa ini ada bermacam-macam, sementara guru bahkan ada yang hanya mau menerima siswa yang sudah pernah “mantu” atau mengawinkan anaknya. Kalau belum masih dianggap terlalu muda dan belum layak mendapat ilmu. Sebenarnya hal yang sama juga berlaku di Bali. Ilmu hanya boleh diajarkan oleh sang “guru”, sedang siswa tidak. Karena itu awalnya jarang ada ilmu “kejawen” bersifat terbuka bisa dipelajari oleh siapa saja. Penerimaan siswa amat selektif. Bila itu terjadi di Jawa tentunya bisa dimaklumi, mungkin karena lingkungannya mengharuskan demikian. tetapi kalau hal yang sama terjadi di Bali, tentunya akan menjadi pertanyaan.
Sikap siswa terhadap guru, umumnya hanya sebatas rasa hormat, dengan menganggapnya sebagai orang suci. Penghargaan yang bersifat materi (Reshi Yadnya) tidak seberapa dan bahkan tidak ada. Guru umumnya benar-benar sepi pamrih. Umumnya orang berpendapat semakin tanpa pamrih nama guru tersebut akan menjadi semakin terkenal dan dihormati. Situasi lingkungan rupanya telah menyebabkan para guru “kebatinan” tersebut, banyak yang tidak mau menunjukkan identitas agamanya secara jelas. Berbagai aturan yang dibuat mengindikasikan bahwa para guru tersebut jauh dari rasa bebas dalam menyampaikan ajarannya. Misalnya mengajarnya di tempat sepi, yang jauh dari keramaian, siswa harus merahasiakan nama gurunya, dilarang membicarakan hal-hal yang diajarkan kecuali dengan sesama siswa, dll. Karena aturan yang begitu ketat, maka para siswa umumnya pun sangat tertutup, bahkan pantang menyebut nama sang guru. Yang terakhir ini juga terjadi di Bali. Hubungan antar sesama siswa sangat akrab. Mereka disumpah untuk menjadi “saudara seperguruan”, yang diistilahkan “sedulur tunggal banyu”, yang artinya “saudara seair”. Mungkin penamaan itu diberikan karena pengangkatannya sebagai saudara seperguruan dilaksanakan dengan upacara “pemercikan air”. Ajaran yang disampaikan oleh para guru itu sebenarnya ajaran biasa, misalnya tentang “sangkan paraning dumadi”, “manunggaling kawula gusti” dan sejenisnya, yang tak jauh berbeda dengan dasar-dasar ajaran Hindu, Ajaran etika menempati tempat yang pokok, berupa berbagai anjuran dan larangan yang bersifat khusus. Anjuran dan larangan itu merupakan hal yang wajib dilaksanakan tanpa harus mengetahui apa alasannya. Hal inilah yang membuat moral dan perilaku para penganut kejawen umumnya selalu terjaga. Biasanya kegiatan belajar ditutup dengan pelajaran “samadhi”, dalam sebuah upacara khusus, yang terkesan sakral dan amat tertutup. Hal ini dilaksanakan setelah siswa mendapat “wejangan” mantra-mantra khusus, yang hanya diberikan setelah melaksanakan “laku” (brata) tertentu. Laku (brata) ini ada bermacam-macam, antara lain: puasa, mutih, tidak tidur (jagra), berpantang seks dan lain-lainnya. Sifat tertutup ini membuat mereka sering mendapat sebutan dukun “klenik”, yang dicurigai dan divonis sebagai pengajar ilmu sesat. Tudingan bahwa mereka adalah kaum sinkretis, yang suka meramu ajaran berbagai agama mungkin ada benarnya, sebab mereka umumnya mengajarkan tentang dasar-dasar ajaran Hindu dan melaksanakan berbagai upacara yang bernafas Hindu tetapi tak jarang doa-doanya dalam bahasa Arab dan Jawa.
No comments:
Post a Comment